Geplak adalah makanan khas kota Bantul yang terbuat dari parutan kelapa dan gula pasir atau gula jawa, yang rasanya manis. Ada pula yang menyebutnya sebagai makanan Betawi dengan tambahan bahan berupa tepung beras dan daun jeruk purut .Terdapat pula geplak yang dibuat dari waluh . Industri geplak umumnya dapat ditemui di daerah Bantul, Yogyakarta, yang kebanyakan diusahakan oleh industri rumah tangga. Selanjutnya jenis penganan ini berkembang meluas akibat permintaan pasar dan diusahakan tidak hanya di sekitar kota Yogya akan tetapi juga di seluruh nusantara
Geplak adalah makanan khas kota Bantul yang terbuat dari parutan kelapa dan gula pasir atau gula jawa, yang rasanya manis. Ada pula yang menyebutnya sebagai makanan Betawi dengan tambahan bahan berupa tepung beras dan daun jeruk purut .Terdapat pula geplak yang dibuat dari waluh . Industri geplak umumnya dapat ditemui di daerah Bantul, Yogyakarta, yang kebanyakan diusahakan oleh industri rumah tangga. Selanjutnya jenis penganan ini berkembang meluas akibat permintaan pasar dan diusahakan tidak hanya di sekitar kota Yogya akan tetapi juga di seluruh nusantara
Brem Bali merek Padi
Brem adalah makanan yang berasal dari sari ketan yang dimasak dan dikeringkan, merupakan hasil dari fermentasi ketan hitam yang diambil sarinya saja yang kemudian diendapkan dalam waktu sekitar sehari semalam.
Sensasi makanan ini muncul ketika makanan dimasukkan ke dalam mulut akan langsung mencair dan lenyap meninggalkan rasa 'semriwing' di lidah.
Dikenal beberapa bentuk brem yang dikenal di pasaran, berupa makanan dan minuman. Brem berupa makanan terkenal dari Madiun dan Wonogiri, sedangkan yang berupa cairan berasal dari pulau Bali dan Nusa Tenggara.
Brem bentuk kedua berasal dari Wonogiri, Jawa Tengah, berbentuk lempeng pipih bundar dengan diameter rata-rata 5 cm dan ketebalan sekitar 0,3 cm. Brem asal Wonogiri berwarna putih dan proses pengeringannya melalui dijemur langsung dibawah panas terik matahari selama tiga hari.
Selain itu ada juga Brem yang berbentuk cair berasal dari Bali dan Nusa Tenggara, brem asal bali berwarna putih seperti susu sedangkan yang berasal dari Nusa Tenggara berwarna merah.
Yogyakarta,
Gudeg (bahasa Jawa gudheg) adalah makanan khas Yogyakarta dan Jawa Tengah yang terbuat dari nangka muda yang dimasak dengan santan. Perlu waktu berjam-jam untuk membuat masakan ini. Warna coklat biasanya dihasilkan oleh daun jati yang dimasak bersamaan. Gudeg dimakan dengan nasi dan disajikan dengan kuah santan kental (areh), ayam kampung, telur, tahu dan sambal goreng krecek.
Ada berbagai varian gudeg, antara lain:
Gudeg kering, yaitu gudeg yang disajikan dengan areh kental, jauh lebih kental daripada santan pada masakan padang.
Gudeg basah, yaitu gudeg yang disajikan dengan areh encer.
Gudeg Solo, yaitu gudeg yang arehnya berwarna putih.
Barong adalah karakter dalam mitologi Bali. Ia adalah raja dari roh-roh serta melambangkan kebaikan. Ia merupakan musuh Rangda dalam mitologi Bali. Banas Pati Rajah adalah roh yang mendampingi seorang anak dalam hidupnya. Banas Pati Rajah dipercayai sebagai roh yang menggerakkan Barong. Sebagai roh pelindung, Barong sering ditampilkan sebagai seekor singa. Tarian tradisional di Bali yang menggambarkan pertempuran antara Barong dan Rangda sangatlah terkenal dan sering diperlihatkan sebagai atraksi wisata.
Barong singa adalah salah satu dari lima bentuk Barong. Di pulau Bali setiap bagian pulau Bali mempunyai roh pelindung untuk tanah dan hutannya masing-masing. Setiap Barong dari yang mewakili daerah tertentu digambarkan sebagai hewan yang berbeda. Ada babi hutan, harimau, ular atau naga, dan singa. Bentuk Barong sebagai singa sangatlah populer dan berasal dari Gianyar. Di sini terletak Ubud, yang merupakan tempat pariwisata yang terkenal. Dalam Calonarong atau tari-tarian Bali, Barong menggunakan ilmu gaibnya untuk mengalahkan Rangda.
Rasa Sayang-sayange
Rasa Sayange atau Rasa Sayang-Sayange adalah lagu daerah yang berasal dari Maluku, Indonesia. Lagu ini merupakan lagu daerah yang selalu dinyanyikan secara turun-temurun sejak dahulu untuk mengungkapkan rasa sayang mereka terhadap lingkungan dan sosialisasi di antara masyarakat Maluku.
Jika didengarkan, lagu ini layaknya seperti sajak atau pantun yang bersahutan. Oleh karenanya banyak versi dari lagu ini karena liriknya dapat dibuat sendiri sesuai maksud dan tujuan dari lagu tersebut.
Namun dari liriknya tetap diawali oleh kalimat Rasa sayange rasa sayang sayange, Eeee lihat dari jauh rasa sayang sayange dan diakhir lagu ini liriknya selalu diakhiri dengan kalimat Kalau ada sumur di ladang, boleh kita menumpang mandi... Kalau ada umurku panjang, boleh kita berjumpa lagi.
Kontroversi
Lagu ini digunakan oleh departemen Pariwisata Malaysia untuk mempromosikan kepariwisataan Malaysia, yang dirilis sekitar bulan Oktober 2007. Sementara Menteri Pariwisata Malaysia Adnan Tengku Mansor mengatakan bahwa lagu Rasa Sayange merupakan lagu kepulauan Nusantara (Malay archipelago)[1], Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu bersikeras lagu "Rasa Sayange" adalah milik Indonesia karena ia merupakan lagu rakyat yang telah membudaya di provinsi Maluku sejak leluhur, sehingga klaim Malaysia itu adalah salah.[2] Gubernur melihat bukti otentik bahwa lagu Rasa Sayange merupakan lagu rakyat Maluku, dan setelah bukti tersebut terkumpul, akan diberikan kepada Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Menteri Pariwisata Malaysia Adnan Tengku Mansor menyatakan bahwa rakyat Indonesia tidak bisa membuktikan bahwa lagu Rasa Sayange merupakan lagu rakyat Indonesia. Bagaimanapun, bukti tersebut akhirnya ditemukan. 'Rasa Sayange' diketahui direkam pertama kali di perusahaan rekaman Lokananta Solo 1962. [3] Pada tanggal 11 November 2007, Menteri Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan Budaya Malaysia, Rais Yatim, mengakui bahwa Rasa Sayange adalah milik Indonesia [4]. Namun, ada beberapa sumber yang mengatakan bahwa Malaysia menyebutkan bahwa mereka mengakui bahwa Rasa Sayange adalah milik bersama, antara Indonesia dan Malaysia[5].
Tentang bukti rekaman "Rasa Sayange", bukti lagu tersebut direkam oleh Lokananta, Solo, Indonesia pada tahun 1962 dalam piringan hitam Gramophone [6]. Rekaman master dari piringan ini masih disimpan oleh Perum PNRI Cabang Surakarta yang dahulunya adalah PN Lokananta. Ini dikenal sebagai rekaman pertama terhadap lagu ini. Piringan hitam tersebut didistribusikan sebagai souvenir kepada partisipan Asian Games ke 4 tahun 1962 di Jakarta, dan lagu "Rasa Sayange" adalah salah satu lagu rakyat Indonesia di piringan tersebut, bersama dengan lagu etnis lain Indonesia seperti Sorak-sorak Bergembira, O Ina ni Keke, dan Sengko Dainang.
Lagu ini juga pernah dinyanyikan dalam Bahasa Hindi oleh Mohd Rafi dan Lata Mengeshkar dalam film Singapore 1960 yang diperan oleh Shammi Kapoor dan Padmini.[7][8]. Lagu ini juga ditayangkan dalam film Insulinde, film yang menggambarkan Hindia Belanda tahun 1937 - 1940.[9]
Lirik
Rasa Sayange
Refrain:
Rasa sayange... rasa sayang sayange...
Eeee lihat Ambon dari jauh rasa sayang sayange
Bait:
Mana kancil akan dikejar, kedalam pasar cobalah cari...
Masih kecil rajin belajar, sudah besar senanglah diri
Si Amat mengaji tamat, mengaji Qur'an di waktu fajar...
Biar lambat asal selamat, tak kan lari gunung dikejar
Kalau ada sumur di ladang, boleh kita menumpang mandi...
Kalau ada umurku panjang, boleh kita berjumpa lagi
Asal-usul
Akar keroncong berasal dari sejenis musik Portugis yang dikenal sebagai fado yang diperkenalkan oleh para pelaut dan budak kapal niaga bangsa itu sejak abad ke-16 ke Nusantara. Dari daratan India (Goa) masuklah musik ini pertama kali di Malaka dan kemudian dimainkan oleh para budak dari Maluku. Melemahnya pengaruh Portugis pada abad ke-17 di Nusantara tidak dengan serta-merta berarti hilang pula musik ini. Bentuk awal musik ini disebut moresco, yang diiringi oleh alat musik dawai. Musik keroncong yang berasal dari Tugu disebut keroncong Tugu. Dalam perkembangannya, masuk sejumlah unsur tradisional Nusantara, seperti penggunaan seruling serta beberapa komponen gamelan. Pada sekitar abad ke-19 bentuk musik campuran ini sudah populer di banyak tempat di Nusantara, bahkan hingga ke Semenanjung Malaya[1]. Masa keemasan ini berlanjut hingga sekitar tahun 1960-an, dan kemudian meredup akibat masuknya gelombang musik populer (musik rock yang berkembang sejak 1950, dan berjayanya musik Beatle dan sejenisnya sejak tahun 1961 hingga sekarang). Meskipun demikian, musik keroncong masih tetap dimainkan dan dinikmati oleh berbagai lapisan masyarakat di Indonesia dan Malaysia hingga sekarang.
h musik dawai, seperti biola, ukulele, serta selo. Perkusi juga kadang-kadang dipakai. Set orkes semacam ini masih dipakai oleh keroncong Tugu, bentuk keroncong yang masih dimainkan oleh komunitas keturunan budak Portugis dari Ambon yang tinggal di Kampung Tugu, Jakarta Utara, yang kemudian berkembang ke arah selatan di Kemayoran dan Gambir oleh orang Betawi berbaur dengan musik Tanjidor (tahun 1880-1920). Tahun 1920-1960 pusat perkembangan pindah ke Solo, dan beradaptasi dengan irama yang lebih lambat sesuai sifat orang Jawa.
Pem-"pribumi"-an keroncong menjadikannya seni campuran, dengan alat-alat musik seperti
Saat ini, alat musik yang dipakai dalam orkes keroncong mencakup
- ukulele cuk, berdawai 3 (nilon), urutan nadanya adalah G, B dan E; sebagai alat musik utama yang menyuarakan crong - crong sehingga disebut keroncong (ditemukan tahun 1879 di Hawai, dan merupakan awal tonggak mulainya musik keroncong)
- ukulele cak, berdawai 4 (baja), urutan nadanya A, D, Fis, dan B. Jadi ketika alat musik lainnya memainkan tangga nada C, cak bermain pada tangga nada F (dikenal dengan sebutan in F);
- gitar akustik sebagai gitar melodi, dimainkan dengan gaya kontrapuntis (anti melodi);
- biola (menggantikan Rebab);
- flut (mengantikan Suling Bambu);
- selo; betot menggantikan kendang
- kontrabas (menggantikan Gong)[2]
Penjaga irama dipegang oleh ukulele dan bas. Gitar yang kontrapuntis dan selo yang ritmis mengatur peralihan akord. Biola berfungsi sebagai penuntun melodi, sekaligus hiasan/ornamen bawah. Flut mengisi hiasan atas, yang melayang-layang mengisi ruang melodi yang kosong.
Bentuk keroncong yang dicampur dengan musik populer sekarang menggunakan organ tunggal serta synthesizer untuk mengiringi lagu keroncong (di pentas pesta organ tunggal yang serba bisa main keroncong, dangdut, rock, polka, mars).
Asal-usul Angklung
Dalam rumpun kesenian yang menggunakan alat musik dari bambu dikenal jenis kesenian yang disebut angklung. Adapun jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah awi wulung (bambu berwarna hitam) dan awi temen (bambu berwarna putih). Purwa rupa alat musik angklung; tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk wilahan (batangan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.
Angklung merupakan alat musik yang berasal dari Jawa Barat. Angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke Bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.
Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.
Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip).
Perenungan masyarakat Sunda dahulu dalam mengolah pertanian (tatanen) terutama di sawah dan huma telah melahirkan penciptaan syair dan lagu sebagai penghormatan dan persembahan terhadap Nyai Sri Pohaci, serta upaya nyinglar (tolak bala) agar cocok tanam mereka tidak mengundang malapetaka, baik gangguan hama maupun bencana alam lainnya. Syair lagu buhun untuk menghormati Nyi Sri Pohaci tersebut misalnya:
Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung. Perkembangan selanjutnya dalam permainan Angklung tradisi disertai pula dengan unsur gerak dan ibing (tari) yang ritmis (ber-wirahma) dengan pola dan aturan=aturan tertentu sesuai dengan kebutuhan upacara penghormatan padi pada waktu mengarak padi ke lumbung (ngampih pare, nginebkeun), juga pada saat-saat mitembeyan, mengawali menanam padi yang di sebagian tempat di Jawa Barat disebut ngaseuk.
Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.
Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.
Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena —tokoh angklung yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda— mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari berbagai komunitas.
Serat Jaka Lodang adalah syair/karangan dalam bahasa Jawa dari pujangga Rangga Warsita yang mengandung petuah akan adanya suatu zaman yang penuh dengan pancaroba.
Serat Jaka Lodang ini terdiri dari dua bagian: bagian pertama dalam bentuk gambuh dengan 3 bait/paragraf (masing-masing mengandung 5 baris) dan bagian kedua dalam bentuk sinom. ...
Pada bagian kedua yang juga terdiri dari 3 bait (masing-masing mengandung 9 baris), terdapat petuah sebagai berikut (beserta terjemahan bebas bahasa Indonesianya):
- Sasedyane tanpa dadya
- Sacipta-cipta tan polih
- Kang reraton-raton rantas
- Mrih luhur asor pinanggih
- Bebendu gung nekani
- Kongas ing kanistanipun
- Wong agung nis gungira
- Sudireng wirang jrih lalis
- Ingkang cilik tan tolih ring cilikira
Suatu waktu seluruh kehendak tidak ada yang terwujud,
apa yang dicita-citakan akan berantakan,
apa yang dirancang menjadi gagal,
yang ingin menang malah kalah,
karena datangnya hukuman yang berat dari Tuhan.
Yang tampak hanyalah perbuatan-perbuatan tercela,
orang besar akan kehilangan kebesarannya,
lebih baik nama tercemar daripada bertanggung jawab (mati),
sedangkan yang kecil juga tidak mau tahu akan keterbatasannya.
- Wong alim-alim pulasan
- Njaba putih njero kuning
- Ngulama mangsah maksiat
- Madat madon minum main
- Kaji-kaji ambataning
- Dulban kethu putih mamprung
- Wadon nir wadorina
- Prabaweng salaka rukmi
- Kabeh-kabeh mung marono tingalira
Banyak orang yang alim, tetapi hanyalah bersifat hiasan saja,
diluar tampak baik (putih) tetapi di dalamnya kuning,
banyak ulama berbuat maksiat,
mengisap ganja, berbuat selingkuh, minum minuman keras, berjudi.
Banyak haji melemparkan,
dan melepas ikat kepala hajinya,
para wanita kehilangan kewanitaannya,
karena pengaruh harta benda,
semuanya itu hanya kebendaan-lah yang menjadi tujuannya.
- Para sudagar ingargya
- Jroning zaman keneng sarik
- Marmane saisiningrat
- Sangsarane saya mencit
- Nir sad estining urip
- Iku ta sengkalanipun
- Pantoging nandang sudra
- Yen wus tobat tanpa mosik
- Sru nalangsa narima ngandel ing suksma
Di antara para saudagar dan pedagang,
hanya harta bendalah yang dihormati pada zaman itu,
seluruh isi dunia penuh dengan penderitaan,
kesengsaraan makin menjadi-jadi,
di tahun Jawa 1860 (Nir=0, Sad=6, Esthining=8, Urip=1) atau 1930 Masehi
yang akan menjadi tonggak sejarahnya.
Pada akhirnya penderitaan yang akan terjadi,
pada saat semua mulai bertobat dan menyerahkan diri,
kepada kekuasaan Tuhan dengan sepenuh hati.
Honai adalah rumah khas Papua.
Rumah Honai terbuat dari kayu dengan atap berbentuk kerucut yang terbuat dari jerami atau ilalang. Honai sengaja dibangun sempit atau kecil dan tidak berjendela yang bertujuan untuk menahan hawa dingin pegunungan Papua. Honai biasanya dibangun setinggi 2,5 meter dan pada bagian tengah rumah disiapkan tempat untuk membuat api unggun untuk menghangatkan diri. Rumah Honai terbagi dalam tiga tipe, yaitu untuk kaum laki-laki (disebut Honai), wanita (disebut Ebei), dan kandang babi (disebut Wamai).
Rumah Honai biasa ditinggali oleh 5 hingga 10 orang. Rumah Honai dalam satu bangunan digunakan untuk tempat beristirahat (tidur), bangunan lainnya untuk tempat makan bersama, dan bangunan ketiga untuk kandang ternak.[1] Rumah Honai pada umumnya terbagi menjadi dua tingkat. Lantai dasar dan lantai satu dihubungkan dengan tangga dari bambu. Para pria tidur pada lantai dasar secara melingkar, sementara para wanita tidur di lantai satu.
Kebudayaan Indonesia dapat didefinisikan sebagai seluruh kebudayaan lokal yang telah ada sebelum bentuknya nasional Indonesia pada tahun 1945. Seluruh kebudayaan lokal yang berasal dari kebudayaan beraneka ragam suku-suku di Indonesia merupakan bagian integral daripada kebudayaan Indonesia.
Kebudayaan Indonesia walau beraneka ragam, namun pada dasarnya terbentuk dan dipengaruhi oleh kebudayaan besar lainnya seperti kebudayaan Tionghoa, kebudayaan India dan kebudayaan Arab. Kebudayaan India terutama masuk dari penyebaran agama Hindu dan Buddha di Nusantara jauh sebelum Indonesia terbentuk. Kerajaan-kerajaan yang bernafaskan agama Hindu dan Budha sempat mendominasi Nusantara pada abad ke-5 Masehi ditandai dengan berdirinya kerajaan tertua di Nusantara, Kutai, sampai pada penghujung abad ke-15 Masehi.
Kebudayaan Tionghoa masuk dan mempengaruhi kebudayaan Indonesia karena interaksi perdagangan yang intensif antara pedagang-pedagang Tionghoa dan Nusantara (Sriwijaya). Selain itu, banyak pula yang masuk bersama perantau-perantau Tionghoa yang datang dari daerah selatan Tiongkok dan menetap di Nusantara. Mereka menetap dan menikahi penduduk lokal menghasilkan perpaduan kebudayaan Tionghoa dan lokal yang unik. Kebudayaan seperti inilah yang kemudian menjadi salah satu akar daripada kebudayaan lokal modern di Indonesia semisal kebudayaan Jawa dan Betawi.
Kebudayaan Arab masuk bersama dengan penyebaran agama Islam oleh pedagang-pedagang Arab yang singgah di Nusantara dalam perjalanan mereka menuju Tiongkok.
Kedatangan penjelajah dari Eropa sejak abad ke-16 ke Nusantara, dan penjajahan yang berlangsung selanjutnya, membawa berbagai bentuk kebudayaan Barat dan membentuk kebudayaan Indonesia modern sebagaimana yang dapat dijumpai sekarang. Teknologi, sistem organisasi dan politik, sistem sosial, berbagai elemen budaya seperti boga, busana, perekonomian, dan sebagainya, banyak mengadopsi kebudayaan Barat yang lambat-laun terintegrasi dalam masyarakat.
Sumatera Barat
aftar rumah adat di Indonesia|Rumah adat]] ===
* Aceh
* Sumatera Barat : Rumah Gadang
* Sumatera Selatan : Rumah Limas
* Jawa : Joglo
* Papua : Honai
* Sulawesi Selatan : Tongkonang (Tana Toraja), Bola Soba (Bugis Bone), Balla Lompoa (Makassar Gowa)
* Sulawesi Tenggara: Istana buton
* Sulawesi Utara: Rumah Panggung
* Kalimantan Barat: Rumah Betang
Tarian
* Jawa: Bedaya, Kuda Lumping, Reog.
* Bali: Kecak, Barong/ Barongan, Pendet.
* Maluku: Cakalele, Orlapei, Katreji
* Aceh: Saman, Seudati.
* Minangkabau: Tari Piring, Tari Payung, Tari Indang, Tari Randai, Tari Lilin
* Betawi: Yapong
* Sunda: Jaipong, Reog, Tari Topeng
* Batak Toba & Suku Simalungun: Tortor
* Sulawesi Selatan: Tari Pakkarena, Tarian Anging Mamiri, Tari Padduppa, Tari 4 Etnis
* Pesisir Sibolga/Tapteng: Tari Sapu Tangan , Tari Adok , Tari Anak , Tari Pahlawan , Tari Lagu Duo , Tari Perak , Tari Payung .
* Riau : ( Persembahan, Zapin, Rentak bulian, Serampang dua Belas )
* lampung : ( bedana, sembah, tayuhan, sigegh, labu kayu )
* irian jaya:
Lagu
* Jakarta: Kicir-kicir, Jali-jali, Lenggang Kangkung.
* Maluku : Rasa Sayang-sayange, Ayo Mama
* Melayu : Soleram, Tanjung Katung
* Minangkabau : Kampuang nan Jauh di Mato, Kambanglah Bungo, Indang Sungai Garinggiang
* Aceh : Bungong Jeumpa
* Ampar-Ampar Pisang (Kalimantan Selatan)
* Anak Kambing Saya (Nusa Tenggara Timur)
* Angin Mamiri (Sulawesi Selatan)
* Anju Ahu (Sumatera Utara)
* Apuse (Papua)
* Ayam Den Lapeh (Sumatera Barat)
* Barek Solok (Sumatera Barat)
* Batanghari (Jambi)
* Bolelebo (Nusa Tenggara Barat)
* Bubuy Bulan (Jawa Barat)
* Buka Pintu (Maluku)
* Bungo Bangso (Sumatera Utara)
* Bungong Jeumpa (Aceh)
* Burung Tantina (Maluku)
* Butet (Sumatera Utara)
* Cik-Cik Periuk (Kalimantan Barat)
* Cikala Le Pongpong (Sumatera Utara)
* Cing Cangkeling (Jawa Barat)
* Cuk Mak Ilang (Sumatera Selatan)
* Dago Inang Sarge (Sumatera Utara)
* Dayung Palinggam (Sumatera Barat)
* Dayung Sampan (Banten)
* Dek Sangke (Sumatera Selatan)
* Desaku (Nusa Tenggara Timur)
* Esa Mokan (Sulawesi Utara)
* Es Lilin (Jawa Barat)
* Gambang Suling (Jawa Tengah)
* Gek Kepriye (Jawa Tengah)
* Goro-Gorone (Maluku)
* Gending Sriwijaya (Sumatera Selatan)
* Gundul Pacul (Jawa Tengah)
* Helele U Ala De Teang (Nusa Tenggara Barat)
* Huhatee (Maluku)
* Ilir-Ilir (Jawa Tengah)
* Indung-Indung (Kalimantan Timur)
* Injit-Injit Semut (Jambi)
* Jali-Jali (Jakarta)
* Jamuran (Jawa Tengah)
* Kabile-Bile (Sumatera Selatan)
* Kalayar (Kalimantan Tengah)
* Kambanglah Bungo (Sumatera Barat)
* Kampuang Nan Jauh Di Mato (Sumatera Barat)
* Ka Parak Tingga (Sumatera Barat)
* Karatagan Pahlawan (Jawa Barat)
* Keraban Sape (Jawa Timur)
* Keroncong Kemayoran (Jakarta)
* Kicir-Kicir (Jakarta)
* Kole-Kole (Maluku)
* Lalan Belek (Bengkulu)
* Lembah Alas (Aceh)
* Lisoi (Sumatera Utara)
* Madekdek Magambiri (Sumatera Utara)
* Malam Baiko (Sumatera Barat)
* Mande-Mande (Maluku)
* Manuk Dadali (Jawa Barat)
* Ma Rencong (Sulawesi Selatan)
* Mejangeran (Bali)
* Mariam Tomong (Sumatera Utara)
* Moree (Nusa Tenggara Barat)
* Nasonang Dohita Nadua (Sumatera Utara)
* O Ina Ni Keke (Sulawesi Utara)
* Ole Sioh (Maluku)
* Orlen-Orlen (Nusa Tenggara Barat)
* O Ulate (Maluku)
* Pai Mura Rame (Nusa Tenggara Barat)
* Pakarena (Sulawesi Selatan)
* Panon Hideung (Jawa Barat)
* Paris Barantai (Kalimantan Selatan)
* Peia Tawa-Tawa (Sulawesi Tenggara)
* Peuyeum Bandung (Jawa Barat)
* Pileuleuyan (Jawa Barat)
* Pinang Muda (Jambi)
* Piso Surit (Aceh)
* Pitik Tukung (Yogyakarta)
* Potong Bebek Angsa (Nusa Tenggara Timur)
* Rambadia (Sumatera Utara)
* Rang Talu (Sumatera Barat)
* Rasa Sayang-Sayange (Maluku)
* Ratu Anom (Bali)
* Saputangan Bapuncu Ampat (Kalimantan Selatan)
* Sarinande (Maluku)
* Selendang Mayang (Jambi)
* Sengko-Sengko (Sumatera Utara)
* Siboga Tacinto (Sumatera Utara)
* Sinanggar Tulo (Sumatera Utara)
* Sing Sing So (Sumatera Utara)
* Sinom (Yogyakarta)
* Si Patokaan (Sulawesi Utara)
* Sitara Tillo (Sulawesi Utara)
* Soleram (Riau)
* Surilang (Jakarta)
* Suwe Ora Jamu (Yogyakarta)
* Tanduk Majeng (Jawa Timur)
* Tanase (Maluku)
* Tapian Nauli (Sumatera Utara)
* Tari Tanggai (Sumatera Selatan)
* Tebe Onana (Nusa Tenggara Barat)
* Te Kate Dipanah (Yogyakarta)
* Tokecang (Jawa Barat)
* Tondok Kadadingku (Sulawesi Tengah)
* Tope Gugu (Sulawesi Tengah)
* Tumpi Wayu (Kalimantan Tengah)
* Tutu Koda (Nusa Tenggara Barat)
* Terang Bulan (Jakarta)
* Yamko Rambe Yamko (Papua)
* Bapak Pucung (Jawa Tengah)
* Yen Ing Tawang Ono Lintang (Jawa Tengah)
* Stasiun Balapan, Didi Kempot (Jawa Tengah)
* Anging Mamiri, Sulawesi Parasanganta (Sulawesi Selatan)
* bulu londong, malluya, io-io, ma'pararuk (Sulawesi Barat)
Musik
* Jakarta: Keroncong Tugu.
* Maluku :
* Melayu : Hadrah, Makyong, Ronggeng
* Minangkabau :
* Aceh :
* Makassar : Gandrang Bulo, Sinrilik
* Pesisir Sibolga/Tapteng : Sikambang
[sunting] Alat musik
* Jawa: Gamelan.
* Nusa Tenggara Timur: Sasando.
* Gendang Bali
* Gendang Karo
* Gendang Melayu
* Gandang Tabuik
* Sasando
* Talempong
* Tifa
* Saluang
* Rebana
* Bende
* Kenong
* Keroncong
* Serunai
* Jidor
* Suling Lembang
* Suling Sunda
* Dermenan
* Saron
* Kecapi
* Bonang
* Kendang Jawa
* Angklung
* Calung
* Kulintang
* Gong Kemada
* Gong Lambus
* Rebab
* Tanggetong
* Gondang Batak
* Kecapi, kesok-Kesok Bugis-makassar, dan sebagainya
Gambar
* Jawa: Wayang.
* Tortor: Batak
Patung
* Jawa: Patung Buto, patung Budha.
* Bali: Garuda.
* Irian Jaya: Asmat.
Pakaian
* Jawa: Batik.
* Sumatra Utara: Ulos, Suri-suri, Gotong.
* Sumatra Utara, Sibolga: Anak Daro & Marapule.
* Sumatra Barat/ Melayu:
* sumatra selatanSongket
* Lampung : Tapis
* Sasiringan
* Tenun Ikat
* Bugis - MakassarBaju Bodo dan Jas Tutup, Baju La'bu
Suara
* Jawa: Sinden.
* Sumatra: Tukang cerita.
* Talibun : (Sibolga, Sumatera Utara)
Sastra/tulisan
* Jawa: Babad Tanah Jawa, karya-karya Ronggowarsito.
* Bali: karya tulis di atas Lontar.
* Sumatra bagian timur (Melayu): Hang Tuah
* Sulawesi Selatan Naskah Tua Lontara
Kebudayaan Modern Khas Indonesia
* Musik Dangdut: Elvie Sukaesih, Rhoma Irama.
* Film Indonesia: "Daun di Atas Bantal" (1998) yang mendapat penghargaan Film terbaik di "Asia Pacific Film Festival" di Taipei.
* Sastra: Pujangga Baru.